Banjarmasin, Kalimantan24.com - Pengadilan Negeri Banjarmasin kembali menggelar sidang lanjutan kasus penipuan kerjasama alat kesehatan (alkes) fiktif yang mengakibatkan kerugian sebesar Rp 23 miliar. Sidang ini digelar secara online dari Lapas Kelas IIA LP Teluk Dalam Banjarmasin, dengan terdakwa Arianto. Selasa (11/06/2024)
Sidang yang dipimpin oleh Majelis Hakim Indra Meinantha Vidi memasuki tahap akhir dengan pembacaan vonis. Dalam putusannya, Majelis Hakim memvonis Arianto dengan hukuman 12 bulan penjara. Putusan ini lebih tinggi dua bulan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang sebelumnya menuntut hukuman 10 bulan penjara.
Majelis Hakim mempertimbangkan kondisi kesehatan terdakwa yang mengalami sakit TBC sebagai salah satu faktor dalam penentuan vonis. Meskipun demikian, pihak korban melalui kuasa hukumnya, Maulana, merasa vonis tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan di masyarakat.
"Vonis ini sangat tidak memuaskan dan belum mencerminkan rasa keadilan. Terdakwa terbukti secara sah melakukan tindak pidana, namun tidak ada pengembalian kerugian 23 miliar lebih tersebut kepada korban. Selain itu, terdakwa memiliki jabatan sebagai direktur yang seharusnya bisa memperberat hukuman," ujar Maulana.
Maulana juga mempertanyakan keputusan Majelis Hakim yang menjadikan penyakit TBC sebagai faktor kegawatdaruratan yang mempengaruhi vonis. "Apakah keadilan kalah dengan kekuasaan dan mafia hukum? Kami akan terus mengejar dan mencari keadilan," tambahnya.
Kasus ini bermula dari laporan korban pada tahun 2022 atas dugaan penipuan dan penggelapan dalam bisnis kerjasama alkes fiktif yang dilakukan oleh PT. Mediasi Delta Alfa, di mana Arianto bertindak sebagai Direktur. Modus operandi yang digunakan Arianto adalah memalsukan dokumen-dokumen instansi seperti rumah sakit dan universitas, serta mengklaim bahwa perusahaannya menang tender pengadaan alkes di sejumlah instansi. Hal ini membuat korban percaya dan akhirnya menginvestasikan uang hingga puluhan miliar rupiah.
Sidang ini menjadi sorotan publik karena nilai kerugian yang besar dan keputusan vonis yang dianggap tidak adil oleh pihak korban. Kasus ini juga menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan integritas dalam penegakan hukum di Indonesia. (Yusni Bayan)