Saksi Ahli: Penetapan Tersangka Korupsi Bansos di HST Cacat Formil, Langkah Hukum Tak Sesuai Prosedur

Banjarmasin – Dalam sidang lanjutan praperadilan yang diajukan oleh tersangka korupsi bantuan sosial (bansos) Hulu Sungai Tengah (HST), MS, saksi ahli yang dihadirkan oleh pemohon menyampaikan pendapat bahwa penetapan tersangka tersebut cacat formil jika langkah-langkah hukum tidak dilaksanakan sesuai prosedur. Pendapat ini disampaikan oleh Dr. Alfira SH, M.Hum, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Semarang, pada sidang di Pengadilan Negeri Banjarmasin, Jumat (27/9).

Menurut Dr. Alfira, penetapan tersangka harus memenuhi beberapa langkah penting, yakni pemeriksaan saksi-saksi, penerbitan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP), dan ekspose atau gelar perkara untuk menentukan apakah unsur pidana terpenuhi. "Jika langkah-langkah prosedural ini tidak dilaksanakan, maka penetapan tersangka dapat dikategorikan cacat formil," ujar Dr. Alfira di hadapan hakim tunggal, Suwandi SH.

Pendapat Dr. Alfira ini muncul saat dirinya memberikan keterangan sebagai saksi ahli yang dihadirkan oleh kuasa hukum pemohon dari Kantor Zainal Abidin SH, MH, dan rekan. Saat kembali diminta pandangannya oleh Zainal, terkait apakah satu SPDP dapat diberlakukan untuk dua kasus yang berbeda, Dr. Alfira menegaskan bahwa hal tersebut tidak dibenarkan. "SPDP tidak boleh disatukan untuk dua kasus yang berbeda, harus terpisah. Jika kasusnya diseplit, namun SPDP-nya disatukan, maka itu cacat formil," ungkapnya.
Namun, dalam pengecualian tertentu, lanjutnya, jika kasus tersebut terkait dengan Pasal 55 KUHP yang mengatur tentang penyertaan atau persekongkolan dalam tindak pidana, SPDP masih bisa disatukan selama kasus tersebut tidak diseplit.

Sidang juga membahas mengenai sah atau tidaknya uang yang telah disetor ke kas daerah dijadikan barang bukti. Menurut Dr. Alfira, uang yang sudah disetorkan ke kas daerah dan diserahkan secara prosedural tidak bisa dijadikan barang bukti karena sudah menjadi milik daerah. "Jika uang tersebut diserahkan sesuai prosedur, maka tidak sah dijadikan barang bukti, karena bukan termasuk bagian dari kejahatan," jelasnya. Dr. Alfira juga menegaskan bahwa ia telah menjadi saksi ahli dalam ratusan kasus praperadilan sebelumnya, yang membuat pendapatnya cukup dihormati di persidangan.

Pada sidang tersebut, dua saksi yang direncanakan untuk dihadirkan oleh pihak pemohon, yakni Edi dan Hamdan dari Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten HST, batal bersaksi. Hal ini terjadi setelah termohon, yang diwakili oleh Asisten Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan (Aspidsus Kejati Kalsel), Abdul Mubin SH, MH, menyatakan keberatan karena kedua saksi tidak memiliki izin dari instansi atau pimpinan mereka.

Hakim Suwandi juga menekankan pentingnya surat rekomendasi atau izin resmi dari pimpinan bagi saksi yang merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN). Kedua saksi mengaku hanya menerima perintah lisan dari Sekretaris Daerah (Sekda) HST untuk menghadiri persidangan, namun tidak memiliki izin tertulis. Setelah berkonsultasi, keduanya akhirnya memilih mundur sebagai saksi karena khawatir akan konsekuensi yang harus mereka hadapi sebagai ASN.

Usai sidang, Zainal Abidin, kuasa hukum pemohon, menyatakan harapannya agar permohonan praperadilan ini dikabulkan. “Kami tidak mempersoalkan substansi kasusnya, tetapi lebih kepada prosedur penetapan tersangka yang dilakukan oleh Kejaksaan. Apakah sudah sesuai atau tidak," ujarnya kepada wartawan.

Diketahui, pemohon praperadilan, MS, adalah seorang politikus muda berusia 28 tahun yang saat ini menjabat sebagai anggota DPRD Hulu Sungai Tengah. Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Tim Penyidik Bidang Pidana Khusus Kejati Kalsel dalam dugaan kasus korupsi bantuan sosial pada tahun anggaran 2022. MS resmi ditahan setelah menjalani pemeriksaan sebagai saksi beberapa waktu lalu, sebelum statusnya dinaikkan menjadi tersangka. (****)

Lebih baru Lebih lama