Deliserdang – Foto yang beredar di media sosial memperlihatkan terdakwa kasus penipuan miliaran rupiah dengan modus masuk Akademi Kepolisian (Akpol), Nina Wati alias Nina, menimbulkan polemik. Dalam foto tersebut, Nina terlihat berada di SPBU Tanjung Mulia dekat Universitas Potensi Utama, Jalan KL Yos Sudarso, Medan, pada Selasa (12/11/2024) sekitar pukul 17.30 WIB. Ia tampak dibopong oleh suaminya dan diduga ditemani petugas medis rumah sakit.
Terkait hal ini, Ir. Henry Dumanter Tampubolon, SH, MH, anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara dari Fraksi PDIP, menyayangkan lambannya proses hukum terhadap Nina Wati. “Kasus ini sangat aneh, dengan jumlah korban yang banyak, namun persidangan terus ditunda. Ada apa sebenarnya?” ujar Henry di kediamannya.
Henry mengungkapkan bahwa Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) mencatat Pengadilan Negeri Lubuk Pakam telah menunda sidang Nina Wati sebanyak lima kali. Penundaan ini terjadi karena Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak dapat menghadirkan terdakwa. Namun, data menunjukkan bahwa penetapan pembantaran Nina Wati ke RS Royal Prima dibuat oleh hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, yakni David Sidik H. Simaremare, SH (Hakim Ketua), Hendrawan Nainggolan, SH, dan Erwinson Nababan, SH (Hakim Anggota).
“Hal ini sangat janggal. Hakim yang membuat penetapan pembantaran ke rumah sakit, tetapi mereka seolah-olah tidak tahu, lalu menyalahkan jaksa yang tidak mampu menghadirkan terdakwa,” kata Henry.
Henry juga mempertanyakan keputusan untuk menyidangkan kasus Nina Wati di seting plat Labuhan Deli. “Kenapa kasus sebesar ini tidak disidangkan di lokasi yang mudah diakses masyarakat? Apakah ada upaya untuk menyembunyikan persidangan dari pantauan publik?” ujarnya.
Henry bahkan mencurigai adanya potensi kolusi antara hakim dan jaksa dalam kasus ini, mengingat banyaknya kejanggalan yang terjadi. Ia membandingkan situasi ini dengan kasus viral di Surabaya, di mana terdakwa dinyatakan bebas tetapi belakangan terungkap adanya operasi tangkap tangan (OTT) yang melibatkan uang puluhan miliar rupiah.
Henry mendesak Komisi Yudisial (KY), Komisi Kejaksaan, Kejaksaan Agung (Kejagung), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk turun langsung memantau kasus ini. “Saya akan segera melaporkan masalah ini ke KY, Komisi Kejaksaan, Kejagung, dan KPK agar penegakan hukum berjalan dengan transparan,” tegasnya.
Ia juga berharap pengadilan dan kejaksaan di Lubuk Pakam dapat menempatkan hakim dan jaksa yang berintegritas tinggi. “Kasus ini harus disidangkan secara terbuka dan sesuai dengan prinsip konstitusi bahwa semua warga negara sama di mata hukum,” tambahnya.
Henry mengajak insan pers dan masyarakat untuk terus memantau jalannya persidangan perkara ini. “Pengawasan publik sangat penting agar persidangan berjalan sesuai dengan prinsip keadilan. Kasus ini bisa menjadi tolok ukur penegakan hukum di Sumatera Utara,” pungkasnya.
Kasus Nina Wati yang menyita perhatian publik ini diharapkan menjadi momentum untuk memperbaiki citra aparat penegak hukum, sekaligus memastikan keadilan bagi para korban penipuan.