Banjarbaru – Sidang gugatan sengketa hasil Pilkada 2024 untuk Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Banjarbaru memunculkan polemik hukum yang menjadi sorotan. Dalam sidang dengan agenda mendengarkan keterangan termohon, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Banjarbaru, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mempertanyakan dasar hukum yang digunakan KPU terkait pelaksanaan pemungutan suara, meskipun salah satu pasangan calon (paslon) telah dinyatakan diskualifikasi.
Hakim Enny meminta penjelasan KPU Banjarbaru terkait keberadaan paslon yang telah didiskualifikasi di surat suara dan status suara yang diberikan oleh warga kepada paslon tersebut. “Dasarnya apa? Kemudian kalau ini dianggap seperti norma dua pasangan calon tetapi kemudian dinyatakan diskualifikasi itu dasarnya apa yang digunakan pada waktu itu? Ketentuan pasal mana yang dijadikan dasarnya untuk melakukan pemungutan suara?” tanyanya saat sidang di panel 3 Mahkamah Konstitusi (MK).
Kekosongan Hukum dalam Pilwalkot Banjarbaru
Dalam persidangan, Tenri, salah satu pihak yang mewakili KPU Banjarbaru, mengakui adanya kekosongan hukum terkait peristiwa ini. "Izin Yang Mulia, memang kami sadari bahwa terjadi kekosongan hukum dengan kasus yang terjadi di Banjarbaru,” ujarnya.
Kuasa hukum KPU Banjarbaru, Muh Salman Darwis, menjelaskan alasan tetap mencantumkan dua pasangan calon di surat suara. Menurutnya, keputusan diskualifikasi pasangan calon nomor urut 02, Muhammad Aditya Mufti Arifin-Said Abdullah, baru diterbitkan oleh Bawaslu Kalimantan Selatan pada 28 Oktober 2024, sedangkan surat suara sudah dicetak jauh sebelumnya.
“Pada 22 September 2024 memang terdapat dua pasangan calon, yaitu Lisa Halaby-Wartono dan Aditya Mufti Arifin-Said Abdullah. Pada 23 September, kedua pasangan calon ini ditetapkan oleh KPU Banjarbaru. Namun, ketika surat suara naik cetak, keputusan diskualifikasi paslon 02 belum diterbitkan," ungkap Salman.
Hasil Pemilu yang Mengundang Polemik
Akibat diskualifikasi paslon 02, pasangan Lisa Halaby-Wartono (paslon 01) mendapatkan suara 100% dalam Pilwalkot Banjarbaru 2024. Hal ini memunculkan kontroversi, terutama mengenai status suara yang diberikan kepada paslon 02, yang dianggap tidak sah.
Kondisi ini mengungkap celah dalam regulasi yang seharusnya dapat mengantisipasi situasi seperti ini. Tidak adanya mekanisme hukum yang jelas terkait diskualifikasi paslon setelah surat suara dicetak menjadi perhatian khusus dalam persidangan.
Harapan Akan Perbaikan Regulasi
Kasus Pilwalkot Banjarbaru 2024 ini menjadi cerminan perlunya reformasi regulasi pemilu untuk menghindari kekosongan hukum di masa mendatang. Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat memberikan putusan yang tidak hanya menyelesaikan sengketa hasil pemilu, tetapi juga memberikan arahan terhadap penyempurnaan aturan hukum pemilu, agar kasus serupa tidak terulang.
Dengan sidang yang terus berlanjut, masyarakat Banjarbaru kini menunggu kejelasan atas hasil Pilwalkot 2024 yang diwarnai kontroversi ini.
Penulis : Nor Ana
Editor : Lukman Hakim SH